Hamba Tuhan: Panggilan Mulia dan Berbahaya (Pastor: Glorious and Dangerous Calling)

Tulisan ini merupakan refleksi/perenungan saya selama 7 tahun melayani di gereja sebagai Hamba Tuhan/Rohaniwan.

Tidak terasa, sudah 7 tahun saya melayani sebagai Hamba Tuhan sejak saya diwisuda di Sekolah Tinggi Teologi Amanat Agung, Jakarta, Agustus 2011 yang silam. Tujuh tahun mungkin waktu pelayanan yang masih dini, jika dibandingkan dengan rekan-rekan Hamba Tuhan yang lain, yang mungkin sudah puluhan tahun melayani. Namun, saya ingin berbagi visi dan pengalaman, walaupun masih sedikit.

Saya teringat dengan salah satu buku yang ditulis oleh Paul David Tripp: Dangerous Calling (2012). Buku ini berfokus membahas tentang tantangan seorang Hamba Tuhan/Rohaniwan dalam pelayanan pastoral/penggembalaan jemaat. Dalam salah satu bagian buku itu, Paul David Tripp menyatakan bahwa panggilan menjadi Hamba Tuhan adalah sebuah “panggilan yang mulia” (glorious calling), tetapi di sisi lain merupakan sebuah “panggilan yang berbahaya” (dangerous calling).

Saya sangat setuju dengan pernyataannya. Panggilan menjadi Hamba Tuhan memiliki keunikan dan kekhususan tersendiri. Sebagai Hamba Tuhan, fokus saya bukan untuk “mengumpulkan harta”, tetapi membawa dan mengumpulkan umat Tuhan untuk mengenal, mengasihi, dan melayani Allah yang hidup. Saya dipanggil untuk memberitakan Injil Yesus Kristus melalui perkataan dan perbuatan saya, membawa jiwa-jiwa yang terhilang kepada Tuhan Yesus dengan anugerah-Nya. Saya dipanggil untuk melayani dan menggembalakan umat Tuhan dengan berbagai macam tipe karakter dan pergumulan hidupnya. Sebagai hamba Tuhan, seringkali saya “diizinkan dan dipercaya” oleh jemaat untuk masuk ke dalam wilayah-wilayah yang sangat privacy dalam hidup mereka, bahkan mereka bisa memnceritakan “dosa-dosa dan aib mereka sendiri”, dengan harapan sebagai Hamba Tuhan, saya bisa membantu mencarikan jalan keluar dari semua itu. Sebagai Hamba Tuhan, saya diberikan “hak istimewa” untuk berkhotbah dan memberitakan firman Tuhan kepada berbagai macam orang, dari berbagai macam kalangan dan profesi, baik dari kalangan pengusaha, dokter, karyawan, mahasiswa, ibu rumah tangga, dan sebagainya. Oh, betapa mulia dan sekaligus berat panggilan menjadi Hamba Tuhan! Dalam refleksi ini, saya tidak bermaksud mengotak-ngotakkan sebuah panggilan atau profesi, karena semuanya harus dikerjakan untuk kemuliaan Tuhan. Tetapi saya hanya mau fokus pada panggilan dan peran saya sebagai Hamba Tuhan/Rohaniwan dalam tulisan ini.

Namun, disisi lain, panggilan menjadi Hamba Tuhan adalah “panggilan yang berbahaya” (dangerous calling).  Mengapa? Karena ada banyak tantangan dan godaan yang bisa menyeret Hamba Tuhan untuk tidak fokus kepada apa yang berkenan di hati Tuhan. Sebagai Hamba Tuhan, jika tidak mawas diri, saya bisa jatuh ke dalam kondisi “melek” terhadap dosa-dosa dan kelemahan jemaat, tetapi “buta” terhadap dosa-dosa dan kelemahan diri sendiri, Sebagai Hamba Tuhan, saya bisa tergoda untuk memiliki ambisi yang besar untuk mengubah hidup orang lain, tetapi sedikit berpikir dan berusaha untuk mengubah diri saya sendiri. Sebagai Hamba Tuhan, terkadang saya dituntut dan diharapkan “sempurna” di mata jemaat, sebuah ekspektasi yang melelahkan secara emosional, padahal saya juga adalah manusia biasa, manusia berdosa yang rentan dan rapuh, yang juga butuh didukung dan didoakan. Sebagai Hamba Tuhan, saya tidak bisa bebas untuk sharing apa saja, dan “curhat” apa saja kepada jemaat, karena saya harus mempertimbangkan sungguh-sungguh dan sangat hati-hati dalam menyampaikan hal-hal yang sangat sensitif bagi jemaat. Sebagai Hamba Tuhan, tingkat persentuhan atau interaksi dengan jemaat cukup tinggi, dan tentu di dalam setiap interaksi dan relasi, ada potensi gesekan atau salah paham.

Di tengah-tengah, tarikan antara “panggilan mulia” dan “panggilan berbahaya” itu, saya bersyukur kepada Tuhan, anugerah-Nya cukup dalam hidup saya. Saya sudah lulus Sekolah Teologi, saya sudah diwisuda 7 tahun yang silam, tetapi saya belum lulus dalam “sekolah pelayanan” dan “sekolah kehidupan.” Kalimat ini saya tulis, bukan untuk pura-pura rendah hati, tetapi itulah kenyataan sebenarnya. Karena seumur hidup sampai saya dipanggil oleh Tuhan, saya akan terus berproses dan belajar menghadapi ujian-ujian dalam sekolah pelayanan dan sekolah kehidupan ini.

Namun, di hadapan Tuhan yang Maha Tahu, selama 7 tahun melayani, saya tetap terus belajar menjaga kemurnian berita firman yang saya khotbahkan dan saya ajarkan kepada umat. Saya tidak ingin memangkas kebenaran firman Tuhan hanya untuk menyenangkan telinga manusia, tetapi menyakiti hati Tuhan. Saya tidak ingin menggunakan cara-cara yang tidak sesuai Alkitab, hanya untuk memikat dan menarik hati manusia untuk datang ke gereja.

Selama 7 tahun saya melayani, saya juga belajar untuk tidak memanfaatkan “status” saya sebagai Hamba Tuhan, untuk mencari keuntungan pribadi dari jemaat. Ketika jemaat ada yang pergi keluar negeri, biasanya ada beberapa jemaat yang tanya atau WA saya, “Pak Binsar, mau dibawakan oleh-oleh apa? Ada kebutuhan gak, nanti kami bisa belikan!” Mungkin jemaat mengatakan semua ini dalam ketulusan, sebagai salah satu bentuk perhatian dan kasih sayangnya kepada Hamba Tuhan. Tetapi jika jemaat menawarkan hal itu kepada saya, saya tidak ingin meminta ini dan itu, dengan menyebutkan “benda-benda” tertentu yang saya inginkan. Saya tidak pernah berkata, “Ya, saya mau dibelikan ini dan itu…” Tetapi jika jemaat itu datang kepada saya, lalu memberikan “oleh-oleh”, saya akan terima dan sangat berterimakasih, tetapi bukan saya yang minta untuk dibelikan ini dan itu.

Selama 7 tahun melayani, memang ada 2 jemaat yang pernah menawarkan kepada saya, “Pak Binsar, saya mau ke luar negeri, ada buku rohani (bahasa Inggris) yang sedang dibutuhkan gak?” Dalam hal ini, saya memang pernah sebutkan ada buku yang saya inginkan, dan akhirnya dibelikan sebagai “gift” buat saya, tetapi saya tidak pernah menjadikan hal ini sebagai hal yang rutin untuk saya lakukan dalam interaksi dengan jemaat.

Selama 7 tahun melayani, saya tidak pernah dengan sengaja menelpon jemaat pemilik sebuah rumah makan/hotel, lalu  memberitahukan bahwa saya dan istri ingin makan atau nginap disana (keperluan pribadi). Karena jika itu yang kami lakukan, maka kemungkinan besar, kami akan digratiskan atau dikasih diskon besar. Saya dan istri akan langsung datang saja ke sana tanpa pemberitahuan, dan memperlakukan diri kami sendiri sebagaimana konsumen yang lain. Kecuali, misalnya, saya dikasih voucher, atau dalam kasus bukan keperluan pribadi, tetapi untuk keperluan gereja/jemaat bersama, dalam rangka acara tertentu, saya bersedia telpon jemaat pemilik rumah makan/hotel itu.

Bagi saya, Hamba Tuhan tidak selalu harus ditraktir, tetapi juga perlu dalam saat-saat tertentu gantian “mentraktir” jemaat. Memberi dan menerima, melayani dan dilayani adalah bagian wajar hidup manusia. Ada saat kita memberi, ada saat kita juga menerima. Hidup Yesus pun di dunia juga seperti itu.

Saya sungguh mengapresiasi, ada cukup banyak jemaat yang saya layani baik di Jakarta, di Tangerang, dan di Solo sekarang, yang memberikan perhatian dan kasihnya kepada saya sebagai Hamba Tuhan, itu adalah hal yang baik, dan salah satu wujud nyata mempraktikkan ajaran firman Tuhan. Namun, secara pribadi saya tetap belajar menjaga hati dan fokus pelayanan saya.

Mungkin ada orang lain yang berbeda cara berpikirnya dalam hal melihat peran dan sikap Hamba Tuhan seharusnya, boleh-boleh saja, tetapi inilah prinsip dan nilai-nilai hidup dalam pelayanan yang saya sudah terapkan selama 7 tahun melayani.

Tuhan terus mengasihi dan menyertai Hamba-hamba-Nya yang setia kepada-Nya. Tuhan  mengasihi umat tebusan-Nya dan gereja-Nya. Amin.

GOSIP


“Siapa memelihara mulut dan lidahnya, memelihara diri dari pada kesukaran.” (Amsal 21:23)

APA ITU GOSIP?

Gosip adalah menyebarkan informasi yang buruk (informasi yang negatif, bukan positif) tentang orang lain yang tidak hadir dalam pembicaraan bersama kita, dan kita tidak pernah mengklarifikasi langsung informasi itu kepada orang yang sedang kita bicarakan itu. Gosip itu bisa sesuai dengan fakta, namun bisa juga belum tentu sesuai dengan fakta yang ada. Jadi, gosip bisa benar, bisa juga salah. Gosip merupakan informasi negatif yang biasanya tersebar dari mulut ke mulut, melalui pembicaraan antar orang.
Gosip adalah sebuah obrolan negatif tentang orang lain, yang merusak nama baik/reputasi orang lain, menjatuhkan orang lain, dan obrolan itu dilakukan tidak pada tempat yang semestinya, atau tidak pada orang yang seharusnya. Gosip adalah “pembunuhan” terhadap karakter seseorang.
Tidak semua informasi dan percakapan tentang hal yang negatif mengenai orang lain dikategorikan sebagai gosip. Misalnya, dalam rapat para guru di sebuah sekolah, membicarakan tentang seorang murid yang melakukan “perbuatan tidak senonoh”. Informasi negatif ini dibicarakan dalam konteks dan tempat yang tepat, yaitu dalam rapat para guru, yang sudah sepatutnya mencari solusi atau pemecahan bersama. Jadi, berbeda dengan gosip. Gosip terjadi dalam konteks yang tidak sepatutnya.
Dalam kenyataannya, seringkali gosip didasarkan pada “asumsi-asumsi, anggapan-anggapan, kemungkinan-kemungkinan yang tidak pasti”, bukan didasarkan pada fakta/kenyataan sebenarnya. Itulah sebabnya, gosip sering disebut sebagai “kabar burung.” Seringkali gosip banyak yang sudah “dibumbu-bumbui”, atau “ditambah-tambahi”. Jadi, sebenarnya yang terjadi adalah “membuat kisah/cerita baru” tentang orang lain.

APA YANG SALAH DENGAN GOSIP?
  1. Menggosip merupakan salah satu bentuk sikap menghakimi orang lain, yaitu suka atau getol mencari-cari kesalahan orang lain. (Matius 7:1-5). Suka meneropongi dan mengawasi hidup orang lain, tetapi kurang mengawasi dan mencermati hidup diri sendiri.
  2. Gosip merupakan sikap yang mencoreng atau merusak nama baik orang lain. Celakanya, kadang-kadang gosip berjalan bersamaan dengan fitnah. Gosip dan fitnah seperti “saudara kembar”. Gosip beranak- cucu.

BAGAIMANA SIKAP KITA TERHADAP GOSIP?
1.     Ingatlah: “Orang yang suka menggosipkan orang lain, biasanya suatu saat akan menggosipkan Anda juga.”
2.     Jika Anda sedang berada dalam kumpulan orang yang sedang bergosip, jika memungkinkan, tinggalkan tempat itu, atau coba alihkan topik pembicaraan.
3.     Setiap informasi yang kita terima harus ditelusuri, dan diselidiki fakta-fakta kebenarannya. Apakah ini sebuah fakta, atau hanya sebuah asumsi? (Bandingkan Ulangan 13:12-14).
4.     Karena gosip biasanya beranak-cucu, putuskanlah mata rantai gosip dimulai dari diri Anda yang mendengarnya. Jika Anda menerima informasi itu, tidak perlu Anda sebarluaskan kepada orang lain (Bdk. Amsal 26:20), cukup berhenti sampai pada diri Anda saja. Menurut, Gary Thomas, salah satu disiplin rohani yang terabaikan pada masa kini adalah belajar membatasi rasa ingin tahu yang tidak perlu, yang sebenarnya bukan wewenang dan bagian kita untuk memastikan kebenarannya.
5.     Ingat prinsip “Hukum Emas” (Golden Rule) dalam Matius 7:12. Kita ingin dihargai, hargai orang lain! Kita tidak mau digosipkan, oleh sebab itu jangan menggosipkan orang lain.

Doa: “Tuhan, seumur hidup kami akan terus belajar untuk mendengar dan berkata-kata dengan bijak. Tidak mudah bagi kami untuk melakukannya. Tuhan, kasihanilah kami. Tuhan, tolong dan mampukanlah kami. Amin.”


MENGEJAR KEBAHAGIAAN?

Apakah Alkitab ada mengajarkan secara eksplisit atau implisit, supaya kita mengejar kebahagiaan (happiness) dalam hidup ini? Bukankah hal ini yang sering diajarkan oleh lingkungan kita, dan mungkin yang sering kita lakukan, yaitu: Mengejar Kebahagiaan? Apa sebenarnya yang Alkitab ajarkan tentang   “kebahagiaan”?

Jika kita dengan teliti mempelajari Alkitab, maka tidak ada satu bagian pun dalam Alkitab yang memberikan perintah kepada kita untuk mengejar kebahagiaan. Yang ada adalah Alkitab memberikan perintah bagi kita, misalnya, mengejar/mencari Allah dan kehendak-Nya (1 Tawarikh 16;11; Matius 6:33), atau mengejar kekudusan (Ibrani 12:14).
Bahkan Ucapan Bahagia (Matius 5:3-12) yang merupakan bagian Khotbah Tuhan Yesus di Bukit, bukan memberikan perintah untuk mengejar kebahagiaan, tetapi Ucapan Bahagia Tuhan Yesus adalah sebuah deklarasi kebahagiaan.Yesus tidak berkata, “Kejarlah, carilah kebahagiaan!” Tetapi Yesus mendeklarasikan atau menyatakan siapakah orang yang berbahagia itu. Orang yang berbahagia adalah orang yang miskin secara rohani di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga. Orang yang berbahagia adalah orang yang berduka atas dosa-dosanya, karena mereka akan dihibur oleh Tuhan. Orang yang berbahagia adalah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi, dan seterusnya. Disini kita melihat, kebahagiaan adalah akibat, atau hasil/buah dari kita mengejar apa yang disukai Tuhan. Pengkhotbah 8:12 menyatakan, “Orang yang takut akan Allah akan beroleh kebahagiaan.” Jadi, kebahagiaan itu bukan untuk dikejar, tetapi kebahagiaan adalah berkat yang Allah sediakan dan berikan bagi orang percaya di dalam Kristus yang hidup mengasihi Tuhan, dan menaati perintah-Nya.
Konsep kebahagiaan yang Yesus ajarkan bukanlah kebahagiaan yang bergantung pada kondisi eksternal di sekeliling kita. “Saya berbahagia karena hidup saya lancar dan sukses. Saya berbahagia karena saya sehat. Saya berbahagia karena saya mempunyai pasangan hidup yang baik.” Bukan itu! Karena kondisi eksternal kita bisa berubah-ubah, tidak menentu. Tidak selalu hidup kita lancar, dan berjalan sesuai dengan harapan dan rencana kita. Tidak selalu kita sehat, dan tidak selalu kehidupan keluarga kita harmonis.
Istilah “kebahagiaan” (Yunani: makarios) yang Yesus maksudkan adalah kebahagiaan pada saat kita memiliki relasi yang benar dengan Allah. Kebahagiaan yang diperoleh ketika kita mendapat perkenanan dari Allah. Kebahagiaan yang di dalamnya kita berada dalam berkat Allah yang adalah Sumber Berkat itu. Itulah sebabnya, dalam beberapa terjemahan bahasa Inggris (ESV, NIV, KJV, RSV) menggunakan istilah, “Blessed...” (Diberkatilah…).
Kebahagiaan versi Yesus (makarios) adalah kebahagiaan yang bersifat batiniah, inner happiness, inner satisfaction. Kebahagiaan yang tidak bergantung keadaan di sekeliling kita, baik atau tidak baik. Yesus berkata dalam Matius 5:10-11, “Berbahagialah (makarios) jika kamu dianiaya oleh karena kebenaran. Berbahagialah jika kamu dicela dan difitnahkan segala yang jahat oleh karena nama-Ku.” Dianiaya pasti adalah sebuah kondisi yang tidak mengenakkan, tetapi Tuhan Yesus menyebut orang itu sebagai orang yang berbahagia/diberkati, karena hidup benar di hadapan Allah.
Diri Allah sendiri adalah Sumber Kebahagiaan kita. Pada saat kita menjadikan “sesuatu” di luar diri Allah (harta, jabatan, kesehatan, pasangan hidup, keluarga, anak, dll) sebagai sumber kebahagiaan dalam hidup ini, maka kita justru akan kehilangan kebahagiaan yang sesungguhnya, ketika semua itu tidak berjalan sesuai dengan apa yang kita harapkan, atau ketika kita kehilangan semua itu. Allah memberikan harta, jabatan, kesehatan, keluarga, atau pasangan hidup atau anak kepada kita, bukanlah untuk dijadikan sumber kebahagiaan, tetapi melalui semua itu, Allah ingin membentuk kita menjadi manusia yang Dia inginkan, yang makin bertumbuh serupa Kristus, manusia yang memuliakan Allah dan menikmati Dia.
Tujuan hidup kita yang dinyatakan dalam Alkitab dirangkum dengan sangat baik oleh Katekismus Singkat Westminster, “To glorify God and to enjoy Him forever” (Memuliakan Allah dan menikmati Dia selama-lamanya). Kebahagiaan sejati adalah hasil dari mencari dan mengejar tujuan akhir hidup yang benar. Pada saat seseorang memuliakan Allah dan menikmati Dia, maka kebahagiaan yang sejati akan dialami oleh orang itu. Kebahagiaan sejati hanya terwujud dan dialami, jika orang itu hidup sesuai dengan maksud dan tujuan Allah bagi dirinya.


Diberkatilah orang yang mengandalkan TUHAN, yang menaruh harapannya pada TUHAN!” (Yeremia 17:7)

TUHAN, MAMPUKAN KAMI MENGAMPUNI SESAMA KAMI

Kita harus mengakui bahwa mengampuni bukanlah sifat alamiah/natural manusia berdosa. Membalas adalah sifat alamiah kita orang berdosa.
Ketika membalas, mungkin hati kita yang sakit “terpuaskan”, tetapi pembalasan tidak pernah menyelesaikan dan memutuskan rantai kebencian dan sakit hati dalam hidup kita. Pada saat kita membalas kejahatan dengan kejahatan, kebencian dibalas dengan kebencian lagi, maka sebenarnya kita bukan sedang memperbaiki keadaan,tetapi justru makin memperburuk keadaan.

Dalam Doa Bapa Kami, kebutuhan manusia akan pengampunan ditempatkan Yesus pada urutan kedua setelah kebutuhan akan makan dan minum.
Manusia bukan saja butuh makan dan minum, tetapi juga butuh pengampunan dalam hidupnya.
Dalam Doa Bapa Kami dikatakan, “dan ampunilah kami akan kesalahan kami seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami” (Matius 6:12). 


Kalimat itu bukan berarti Allah mengampuni kita oleh karena kita juga mengampuni orang lain. 
Kalimat itu bukan berarti untuk mendapatkan pengampunan dari Allah, kita harus terlebih dahulu bisa mengampuni orang lain. Kita diampuni oleh Allah, semata-mata karena kemurahan dan belas kasihan-Nya terhadap kita melalui Kristus, bukan karena jasa dan amal baik kita. Tetapi yang Yesus maksudkan dalam doa ini adalah jika kita tidak mau mengampuni orang lain, maka kita sebenarnya tidak mengakui betapa besarnya pengampunan Allah bagi kita.
Jika kita tidak mau mengampuni, kita tidak menghargai dan menghayati nilai dari pengampunan Allah. Sikap tidak mau mengampuni orang lain memperlihatkan bahwa kita adalah orang yang keras hati, tidak ada penyesalan, tidak ada pertobatan, tidak ada kehancuran hati sebagai orang berdosa yang sudah terlebih dahulu mengalami pengampunan yang tak terbatas dari Allah.

Jika kita bisa jujur dan objektif melihat ke dalam diri kita sendiri, sebenarnya dosa dan kesalahan yang kita lakukan terhadap Allah jauh lebih besar, jauh lebih banyak, dan jauh lebih sering, jika dibandingkan dengan kesalahan yang orang lain perbuat terhadap diri kita. Saya sungguh sadar jika luka hati itu begitu dalam, tidak mudah sembuh begitu saja. Saya tidak ingin menyepelekan pergumulan orang lain.
Namun kita harus sadar, betapapun sakitnya hati kita akibat dilukai atau dihina oleh orang lain, semua itu tetap jauh lebih kecil jika dibandingkan kita sudah menyakiti hati Tuhan.

Pernahkah kita mencoba menghitung, selama sekian puluh tahun kita hidup di dunia ini sampai sekarang, kira-kira berapa kali kita sudah berdosa kepada Tuhan, baik melalui hati, pikiran, perkataan, dan perbuatan kita? Sangat banyak! Karena begitu banyaknya, kita tidak bisa menghitung dan mengingatnya lagi.
Berapa kali kita telah menyakiti hati Tuhan? Terlalu sering dan terlalu banyak! Berapa kali kita minta pengampunan kepada Tuhan? Sangat sering dan sangat banyak!
Jika Allah sedemikian murah hati kepada kita, mengampuni kita dengan pengampunan yang tidak terbatas, mengapa kita justru membatasi pengampunan kita kepada orang lain? Mengapa kita tidak mau mengampuni kesalahan orang lain?

Firman Tuhan dalam Efesus 4:31-32 menyatakan, “Segala kepahitan, kegeraman, kemarahan, pertikaian dan fitnah hendaklah dibuang dari antara kamu, demikian pula segala kejahatan. Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu.” 
Jadi, pengampunan Allah yang kita terima di dalam dan melalui Yesus Kristus, menjadi dasar perintah supaya kita mengampuni orang lain. God is the Great Forgiver!
Ada orang yang beranggapan, kalau kita benar-benar sudah mengampuni seseorang, maka kita harus bisa melupakan kesalahan orang itu. Kalau kita masih ingat kesalahan yang orang lain lakukan kepada kita, berarti kita belum sungguh-sungguh mengampuni. Ini pandangan yang keliru.

Manusia diciptakan dengan memiliki daya ingat/memori. Misalnya, jika pasangan kita (suami/istri) berselingkuh dan bersetubuh dengan orang lain, lalu pasangan kita itu bertobat, dan kita mengampuninya, mungkinkah kita bisa melupakan pengkhianatan yang pernah dilakukan oleh pasangan kita itu? Tentu tidak! 


Mengampuni berarti kita tidak menyangkali bahwa orang itu pernah menyakiti dan melukai hati kita, tetapi ingatan itu tidak membuat kita sakit hati, dendam, atau benci lagi kepada orang itu. Ingatan itu tidak menjadi problem lagi bagi kita, ketika kita berelasi dengan orang yang sudah kita ampuni. Dulu sebelum mengampuni, kita ingat kesalahan orang itu, dan timbul kebencian, kepahitan, dan amarah dalam diri kita. Namun, ketika kita mengampuni, kita juga tetap masih ingat kesalahan yang diperbuatnya, tetapi kita sekarang telah terbebas dari kepahitan, terlepas dari dendam dan kebencian.
Mengampuni tidak sama dengan melupakan kesalahan orang (Forgiving is not forgetting).Tidak semua jenis kesalahan orang bisa kita lupakan begitu saja.

Dalam kenyataan dan praktiknya, pengampunan yang sesungguhnya lebih kepada sebuah proses yang memerlukan tahapan dan proses waktu.
Ketika kita mengampuni, seringkali hati kita berontak untuk melakukannya, apalagi jika luka hati itu begitu dalam. Itulah sebabnya, seringkali pengampunan bukanlah sebuah “tindakan sekali jadi, dan langsung beres”, tetapi pengampunan lebih kepada sebuah “proses”.
Kadang-kadang, kita harus menanggalkan kepahitan dan kebencian dalam diri kita itu berkali-kali, sebelum akhirnya kita dibebaskan sepenuhnya dengan pertolongan Tuhan.

"Musuh kita yang sesungguhnya bukanlah orang yang melukai kita, bukan orang yang menyakiti hati kita, bukan orang yang memfitnah kita, atau orang yang mencoreng nama baik kita, tetapi musuh kita yang sesungguhnya adalah KEBENCIAN yang ada di dalam diri kita sendiri."
Henri Nouwen (1932-1996) menyatakan: "Pengampunan adalah kasih yang dipraktikkan di tengah-tengah orang yang kurang mengasihi.”
Ketika kita mengampuni, berarti kita sedang menyatakan kemurahan, belas kasihan, dan kebaikan kepada orang lain.
Pada saat kita tidak mengampuni, kita kehilangan sifat kemurahan dan belas kasihan dalam diri kita kepada orang lain. Ketika kita mengampuni, kita sedang menaburkan perdamaian dalam hidup ini. Namun, ketika kita tidak mengampuni, kita akan terus menaburkan kebencian dan pertikaian yang tidak ada habis-habisnya. Sekarang pilihan ada di tangan kita. 

Kita mau hidup dalam pengampunan atau tidak. 
Mau tetap hidup terpenjara dalam kebencian atau hidup dalam kelegaan dan kebebasan.
Mau hidup dalam dendam, atau hidup dalam anugerah. 

Mau hidup dalam kepahitan atau sukacita. 

Salah satu ciri atau tanda orang yang makin dewasa rohaninya adalah orang itu akan lebih cepat mengampuni.

Marilah kita terus berdoa kepada Tuhan, supaya kemurahan dan belas kasihan-Nya memenuhi hati kita, sehingga kita dimampukan untuk hidup saling mengampuni sebagaimana Allah di dalam Kristus sudah terlebih dahulu mengampuni kita dengan pengampunan-Nya yang tak terbatas.

Marilah kita memberikan diri kita sendiri, menjadi saluran kasih dan pengampunan Tuhan bagi sesama kita. Memang sungguh tidak mudah, tetapi Tuhan akan menolong setiap orang yang sungguh-sungguh mengasihi-Nya.

"Tuhan, kasihanilah kami. Tuhan, mampukanlah kami.” Amin.πŸ™πŸ½πŸ™πŸ½

KEKELIRUAN DALAM HAL BERDOA


Apakah berdoa itu mudah? Bagi sebagian orang yang baru bertobat percaya Yesus dan baru mengenal kekristenan, mungkin berdoa itu bukan hal yang mudah, apalagi kalau diminta memimpin doa di depan umum (publik).
Namun, bagi sebagian orang lagi, mungkin berdoa itu hal yang mudah, apalagi jika orang itu sudah terbiasa memimpin doa secara spontan di depan umum, dan memiliki kemampuan untuk dapat merangkai kata-kata yang indah dan bagus saat berdoa.
Namun, pernahkah kita mencoba bertanya, “Apakah setiap doa-doa kita pasti disukai oleh Tuhan? Apakah setiap doa-doa yang kita panjatkan dengan fasih, lancar, dengan kata-kata yang indah, intonasi suara yang bagus, dirangkai dengan kata-kata yang secara teologis sangat Alkitabiah, apakah semua doa seperti itu pasti berkenan di hati Tuhan? Apakah doa hanya sebatas kata-kata?”

Dr. Edmund Chan, dalam bukunya “Growing Deep  In God: Integrating Theology and Prayer” menyatakan,
“Sebenarnya, tidak ada satupun orang Kristen yang bisa berkata bahwa dirinya  sudah “expert” (ahli) dan “professional” dalam hal berdoa.” 

Mungkin kita bisa berkata, “Orang itu itu “expert” (ahli) memainkan gitar! Dia seorang gitaris yang professional! Kita juga mungkin bisa berkata, “Orang itu “expert” (ahli) dalam hal menari. Dia seorang penari yang professional!”
Tetapi bisakah kita mengatakan orang Kristen itu “expert” (ahli) dan professional dalam hal berdoa?

Dr. Edmund Chan mengingatkan kita, bahwa dalam dunia bisnis, dunia olahraga, dunia hiburan, dan yang lainnya, kita bisa memberikan label “expert” dan “professional” kepada seseorang, tetapi dalam hal berdoa, tidak seorang pun yang bisa mengklaim bahwa dirinya seorang yang “expert” dan “professional”, termasuk saya yang sedang membahas topik ini.
Mungkin seseorang bisa saja memiliki segudang pengetahuan yang luar biasa tentang doa, dia ahli membahas topik tentang doa (itupun sebenarnya tidak salah), tetapi tidak secara otomotis orang yang ahli membahas topik tentang doa akan selalu memiliki kehidupan doa yang berkenan di hati Tuhan.
Semua kita, termasuk saya, terus-menerus menjadi pembelajar dalam hal berdoa. Seumur hidup kita akan terus-menerus belajar berdoa. Mengapa demikian?

Pertama, karena berdoa bukan sekedar berbicara masalah “kata-kata” kepada Tuhan, tetapi berdoa juga berbicara masalah sikap hatidan motivasi di hadapan Tuhan. Dan kita harus mengakui dengan jujur, di dalam natur keberdosaan kita, betapa sulitnya untuk menjaga hati kita senantiasa bersih di hadapan Tuhan! Tuhan Yesus menegur sebagian orang yang berdoa dengan motivasi untuk mengesankan orang lain, untuk pamer kesalehan diri, atau berdoa dimotivasi untuk mencari pujian dari manusia (Matius 6:5-6).
Doa bukanlah ajang untuk memamerkan kefasihan lidah kita. Doa bukanlah ajang untuk memamerkan begitu puitisnya kata-kata doa kita. Doa bukanlah ajang untuk memamerkan betapa bagusnya intonasi suara kita saat berdoa. Point yang ingin saya tekankan adalah jangan sekali-kali berdoa dengan motivasi untuk “pamer.”
Pada saat kita berdoa untuk pamer, maka kita telah salah arah. Kita telah memfokuskan perhatian kita dan menujukan doa kita kepada pendengar, kepada publik ataujemaat, bukan kepada Allah yang seharusnya menjadi pusat doa kita. Namun penjelasan saya tidak berhenti sampai di sini.

Jika ada orang yang berdoa dengan fasih, dengan kata-kata yang bagus, puitis, intonasi suaranya bagus, tidak berarti orang itu pasti selalu sedang pamer dalam berdoa. Karena hal ini berkaitan dengan motivasi, menyangkut isi hati manusia, maka biarlah kita serahkan hal ini menjadi urusan pribadi orang itu dengan Tuhan. Biarlah tiap-tiap orang menguji hatinya di hadapan Tuhan ketika dia berdoa.
Jangan kita menghakimi, atau mencurigai  doa-doa yang dipanjatkan seperti itu. Janganlah kita masuk ke dalam wilayah yang bukan wewenang kita, yang bukan bagian kita, sehingga kita jatuh ke dalam dosa dengan menempatkan diri seperti Allah yang Maha Tahu isi hati orang. Karena memang ada orang-orang tertentu yang mampu merangkai kata-kata dengan begitu baik, secara alamiah, spontan, tanpa punya motivasi untuk pamer diri. Bukankah kitab Mazmur juga banyak berisi doa-doa dalam bentuk puisi? Sekali lagi, biarlah kita tidak berprasangka buruk terhadap hal-hal seperti itu.

Kedua, ada godaan bagi kita, berdoa hanya semata-mata sebuah “kebiasaan rohani” tanpa disertai dengan sikap hati yang sungguh-sungguh menyembah dan mengasihi Tuhan. Berdoa cuma basa-basi saja, keluar dari bibir, tetapi tidak berasal dari hati yang tulus dan penuh kejujuran untuk mencari kehendak Allah. Tuhan tidak menyukai doa yangsemata-mata mekanis dan ritual belaka; asal berkata-kata, tetapi tidak keluar dari hati yang tulus untuk mencari Allah (Matius 6:7-8). Misalnya, mungkin dalam doa kita berkata, “Jadilah kehendak-Mu!” Tetapi dalam kenyataannya, kita mencari dan memprioritaskan kehendak diri kita sendiri, bukan kehendak Tuhan. Kita tidak tulus untuk sungguh-sungguh mau tunduk pada kehendak Tuhan dalam hidup kita.

Bahkan, adakalanya kita bisa jatuh ke dalam kesalahan, berdoa dengan kata-kata yang seolah-olah mengungkapkan kerendahan hati kita, tetapi sesungguhnya dalam lubuk hati yang paling dalam, kita penuh dengan keangkuhan rohani. Manusia mungkin tidak bisa melihat hal itu, tetapi Allah Maha Tahu dan Maha Melihat.



Dr. Simon Chan, seorang dosen di Trinity Theological College, Singapore menyatakan, “Biarlah hatimu mengatakan kepadamu apa yang ingin engkau katakan kepada Allah, dan katakanlah dengan sederhana tanpa terganggu dengan kata-katanya. Merupakan sebuah kebodohan jika kita ingin  menyombongkan diri dalam doa di hadapan Allah”.

Kiranya Tuhan menolong kita, jangan sampai sambil berdoa, kita sambil berdosa di hadapan Tuhan, dalam artian, doa-doa kita justru mendukakan hati Tuhan, karena sikap hati kita tidak berkenan di hadapan-Nya.

“Ya Tuhan, betapa sulitnya kami menjaga hati kami untuk senantiasa bersih di hadapan-Mu! Tuhan, kasihanilah kami. Tuhan, ampunilah kami. Tuhan, ajarilah kami berdoa sesuai dengan kehendak-Mu!” Amin.πŸ™πŸ½πŸ™πŸ½

Hamba Tuhan: Panggilan Mulia dan Berbahaya (Pastor: Glorious and Dangerous Calling)

Tulisan ini merupakan refleksi/perenungan saya selama 7 tahun melayani di gereja sebagai Hamba Tuhan/Rohaniwan. Tidak terasa, sudah 7 t...