21 Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan,
Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan
kehendak Bapa-Ku yang di sorga.
22 Pada hari terakhir banyak orang akan berseru
kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir
setan demi nama-Mu, dan mengadakan banyak mujizat demi nama-Mu juga?
23 Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada
mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku, kamu
sekalian pembuat kejahatan!" (Matius 7:21-23)
Richard Foster mengawali bukunya Celebration
of Disciplines dengan sebuah kalimat yang mengingatkan kita semua: “Superficiality
is the curse of our age” (Superfisialitas merupakan kutukan di zaman kita). Kita hidup di era superfisial, era yang
mementingkan kehidupan lahiriah, hal-hal yang nampak di permukaan, era
kosmetik, era hidup yang penuh dengan topeng. Kita mengenakan berbagai topeng
untuk menutupi diri kita yang sebenarnya. Kita mungkin pura-pura berdoa, pura-pura produktif bekerja, mungkin
pura-pura aktif melayani, pura-pura
peduli dengan orang lain, mungkin pura-pura cinta Tuhan. Terus-menerus berpura-pura. Padahal
kita melakukan semua itu bukan untuk
kemuliaan Tuhan, tetapi untuk kemuliaan diri sendiri, dan untuk memenuhi kebutuhan ego kita. Oleh sebab itu,
bagi saya, perkataan Sigmund Freud dalam batas-batas tertentu ada benarnya juga,
walaupun tidak sepenuhnya benar. Dia
menyatakan, “Manusia beragama sebenarnya sedang menciptakan
Allah bagi diri mereka sendiri untuk memenuhi kebutuhan ego sendiri. Allah adalah proyeksi dari kebutuhan manusia.”
Cuplikan khotbah Tuhan Yesus
dalam Matius 7:21-23 ini adalah khotbah yang keras dan tajam. Tuhan Yesus
mengingatkan ada sebagian orang yang merasa dirinya rohani, karena merasa diri
sudah “dipakai” oleh Tuhan secara luar biasa, bahkan memiliki
“prestasi-prestasi” pelayanan yang dikerjakan atas nama Tuhan. Mereka
bernubuat, mengusir setan dan melakukan banyak mujizat demi nama Yesus Kristus.
Mungkin dalam konteks kehidupan
bergereja di zaman sekarang, orang-orang ini berkata kepada Tuhan Yesus,
“Tuhan, Tuhan, bukankah kami melayani demi nama-Mu? Kami mau menyibukkan diri
demi nama-Mu? Bukankah kami menjadi Hamba Tuhan, menjadi majelis, menjadi
pelayan gereja demi nama-Mu? Bukankah kami menjadi panitia, worship leader,
pemusik, usher, dan sebagainya, semua itu kami lakukan demi nama-Mu?”
Sejujurnya, hati saya gelisah,
jika membayangkan seandainya dialog seperti ini terjadi antara saya dan dengan
Tuhan Yesus sendiri, sebagai Hakim Tertinggi dalam hidup saya.
Apa yang salah dengan orang-orang yang digambarkan Yesus dalam
Matius 7 ini, sehingga Tuhan Yesus menolak mereka? Ada 2 alasan utama
yang diberikan dalam bagian ini:
1. Mereka tidak melakukan kehendak Allah dalam hidup mereka (ayat 21).
Yang terjadi pada orang-orang ini adalah mereka memanggil dan memuja-muja
Yesus dengan gelar yang agung dan santun dengan sebutan “Tuhan”. Mereka berseru
dengan penuh antusias dan semangat, “Tuhan, Tuhan!” Bahkan
mereka melakukan perbuatan-perbuatan yang mengesankan atas nama Tuhan Yesus. Tetapi
pengakuan mereka hanya sekadar
di bibir atau di mulut saja.
Tujuan pelayanan mereka hanya untuk mengesankan orang lain, supaya orang lain
kagum kepada mereka. Hidup
mereka jauh dari kehendak Tuhan. Mereka melakukan pelayanan untuk memuaskan
diri sendiri, bukan untuk memuaskan hati Allah, dan bukan untuk melakukan kehendak Allah. Kita perlu waspada, kita bisa sibuk dengan kegiatan-kegiatan rohani, tetapi hidup kita sendiri tidak
rohani di mata Tuhan.
2. Mereka tidak memiliki relasi pribadi dengan Tuhan Yesus (ayat 23).
Yesus tidak pernah kenal mereka! Istilah Yesus “tidak pernah kenal” mereka, bukan dalam pengertian Yesus
tidak tahu siapa mereka, seperti kita bertemu dengan orang yang tidak pernah
kita kenal sebelumnya. Yesus dalam keilahian-Nya, Dia sebagai Tuhan, tentu
mengenal sedalam-dalam siapa mereka, baik hati, pikiran, perkataan, dan
perbuatan mereka. Tetapi “Yesus tidak pernah kenal mereka” dalam bahasa aslinya
(Yunani) memiliki arti “Yesus tidak pernah memiliki hubungan/relasi yang
intim dengan mereka”. Yesus
tidak pernah memiliki hubungan personal dengan mereka. No relationship
with Jesus Christ.
Mereka memang dari semula tidak pernah dipersatukan dengan Kristus. Mereka
tahu tentang Yesus, tetapi
Yesus tidak ada dalam hati mereka. Di bibir mulut mereka mengatakan Yesus
adalah Tuhan mereka, tetapi Yesus tidak pernah menjadi Tuan yang memimpin dan
mengendalikan arah hidup mereka. Mereka
adalah murid-murid Kristus yang palsu, domba-domba palsu, yang mengaku-ngaku sebagai murid Kristus.
Mereka sejak semula tidak pernah mengalami kelahiran baru dan pertobatan sejati
dalam hidup mereka.
Kita perlu waspada, jangan sampai
kita menjadi orang yang religius, tetapi tidak spiritual. Kita hanya terjebak
pada tingkah laku beragama yang lahiriah (ke gereja, berdoa, membaca Alkitab,
terlibat kegiatan pelayanan, dll), tetapi kita mengabaikan esensi kerohanian
yang sesungguhnya, yaitu hidup bertumbuh makin serupa Kristus. Kita bisa aktif
dalam kegiatan gereja, tetapi kita mengabaikan area-area buruk dalam karakter
kita, dan mengabaikan hukum-hukum Tuhan dalam hidup kita. Kita mengenakan
atribut-atribut kekristenan, tetapi kita mengabaikan kasih kepada Tuhan dan
kasih kepada sesama.
Kita perlu waspada, jangan sampai
kita hanya berfokus pada “doing for God”, kita melakukan sesuatu untuk Tuhan,
melakukan ini dan itu, hanya sibuk ini dan itu, tetapi kita mengabaikan
“being”, yaitu apakah kita sudah menjadi manusia yang Tuhan inginkan.
Orang-orang yang digambarkan
Yesus dalam Matius 7:21-23 adalah orang-orang yang “doing for God” secara luar
biasa, tetapi semua itu dilakukan bukan hasil relasi personal yang intim dengan
Tuhan, dan mereka mengabaikan hukum-hukum Allah dalam hidup mereka.
Kita tidak dipanggil menjadi
orang yang hanya religius, tetapi tidak spiritual. Kita dipanggil menjadi orang
yang religius dan sekaligus spiritual. Perilaku lahiriah beragama kita haruslah
merupakan buah atau hasil dari relasi kita yang intim dengan Tuhan, dan kasih
yang dalam kepada Tuhan.
Tuhan, tolonglah kami, dan
mampukanlah kami untuk hidup dalam kebenaran firman-Mu. Tuliskanlah firman-Mu
dalam loh hati kami. Amin.
No comments:
Post a Comment