Tidak sedikit orang yang beranggapan bahwa uang adalah sumber kebahagiaan. Uang adalah segala-galanya. Kesimpulan ini mereka buat berdasarkan kenyataan bahwa seluruh perjalanan hidup manusia membutuhkan uang dari lahir sampai meninggal dunia. Pada saat seseorang lahir, kelahiran butuh uang. Membesarkan anak-anak butuh uang. Menikah butuh uang. Makan-minum membutuhkan uang. Sakit membutuhkan uang. Bahkan mati pun membutuhkan uang, baik dengan cara dikremasi atau dikubur.
Tidak heran jika kita seringkali mengukur nilai hidup kita sendiri dan nilai hidup orang lain berdasarkan banyaknya uang dan harta yang dimiliki. Kita membangun nilai diri dan rasa percaya diri kita berdasarkan banyaknya harta yang kita miliki.
Gambar diri atau konsep diri kita dibentuk oleh spirit materialisme, yaitu "Saya adalah apa yang saya punya" (I am what I have). Kita merasa, makin mahal mobil yang kita pakai, makin mewah rumah kita, makin bermerk baju dan handphone yang kita gunakan, maka kita merasa harga diri dan rasa percaya diri kita makin besar. Kita membangun rasa percaya diri kita berdasarkan atribut-atribut fisik yang melekat pada diri kita, bukan berdasarkan pemahaman siapa sesungguhnya diri kita di hadapan Allah.
Handphone yang mula-mula digunakan untuk sarana komunikasi dan informasi, sekarang berubah fungsinya menjadi simbol status diri seseorang. Jenis dan merk handphone dijadikan simbol status dan nilai diri seseorang. Mobil yang mula-mula digunakan untuk transportasi, sekarang mengalami pergeseran nilai, telah berubah menjadi lambang status sosial seseorang. Siapa orang itu diukur dari merk mobilnya, merk handphonenya, merk bajunya, merk sepatunya, dimana tinggalnya, pokoknya seseorang diukur dari benda-benda fisik yang melekat pada dirinya. Cara pandang dan sikap seperti ini dilakukan bukan hanya pada diri sendiri, tetapi juga terhadap orang lain.
Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa kita tidak boleh membeli barang mahal atau semua pakaian kita harus pakaian yang murah, karena tentu ada pertimbangan-pertimbangan yang kita buat ketika membeli sesuatu. Namun, kita perlu mengevaluasi diri, apakah kita membeli sesuatu lebih berdasarkan gengsinya daripada fungsinya. Atau membeli sesuatu lebih dikendalikan oleh "keinginan" (wants) belaka, daripada "kebutuhan" (needs).
Perhatikan 1 Timotius 6:10, “Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka.” (NIV: “For the love of money is a root of all kinds of evil. Some people, eager for money, have wandered from the faith and pierced themselves with many griefs”). Di situ tidak dikatakan bahwa uang adalah akar dari segala kejahatan, tetapi cinta uanglah yang dikatakan sebagai akar segala kejahatan. Money is not the root of all evil, but the love of it is! Jadi, bukan uangnya yang salah, tetapi sikap hati kita terhadap uang itu. Sikap hati yang tamak akan uanglah yang menjadi akar berbagai kejahatan. Karena tamak akan uang, maka banyak orang yang menghalalkan segala cara untuk memperoleh uang dan kekayaan. Karena tamak akan uang, ada orang yang rela membunuh keluarganya sendiri. Karena tamak akan uang, ada orang yang rela menjual kehormatan dan harga dirinya. Karena tamak akan uang, ada orang yang mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan dalam hidupnya, seperti korupsi, dan mengambil hak-hak orang lain.
Uang adalah ibarat sebuah pisau. Pisau itu dapat menjadi benda yang baik atau buruk bergantung bagaimana kita menggunakannya. Pisau menjadi sesuatu yang baik jika digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat seperti mengupas buah, memotong daging, dst, tetapi pisau berubah menjadi “jahat” jika digunakan untuk membunuh atau mencelakakan orang lain. Demikian juga halnya dengan uang, tergantung bagaimana kita menggunakannya. Seorang teolog, Carl F. Henry pernah menyatakan, “Saya pikir Tuhan tidak memandang hina harta, justru Dia memberikannya kepada kita. Yang Tuhan pandang hina adalah penyalahgunaannya, dan Dia memberi upah atas pengelolaan harta yang baik”.
Uang hanyalah sarana atau alat penunjang kehidupan, bukan tujuan kehidupan itu sendiri. Pada saat kita menjadikan pengejaran akan uang sebagai tujuan hidup, seluruh kompas hidup kita diarahkan ke sana, maka pada saat itu juga kita telah menjadi budak uang. Kita harus bisa membedakan antara mencari uang sebagai “sarana penunjang kehidupan” dengan “mencari uang sebagai tujuan akhir kehidupan”. Pada saat kita menjadikan uang sebagai sumber kebahagiaan hidup, sumber rasa aman, dan sumber nilai diri kita, maka kita telah menjadikan uang/harta sebagai berhala yang "menggantikan" posisi Allah dalam hidup kita. Manusia seringkali melekatkan atribut ilahi pada uang.
Uang dan harta bukan untuk ditumpuk, dicintai, dan dipamerkan, tetapi semua itu harus dikelola dengan baik untuk kemuliaan Allah dan pelayanan bagi sesama. Kiranya Tuhan menolong kita menjadi tuan dan pengelola yang baik atas uang dan harta yang Tuhan percayakan kepada kita.
No comments:
Post a Comment