Hamba Tuhan: Panggilan Mulia dan Berbahaya (Pastor: Glorious and Dangerous Calling)

Tulisan ini merupakan refleksi/perenungan saya selama 7 tahun melayani di gereja sebagai Hamba Tuhan/Rohaniwan.

Tidak terasa, sudah 7 tahun saya melayani sebagai Hamba Tuhan sejak saya diwisuda di Sekolah Tinggi Teologi Amanat Agung, Jakarta, Agustus 2011 yang silam. Tujuh tahun mungkin waktu pelayanan yang masih dini, jika dibandingkan dengan rekan-rekan Hamba Tuhan yang lain, yang mungkin sudah puluhan tahun melayani. Namun, saya ingin berbagi visi dan pengalaman, walaupun masih sedikit.

Saya teringat dengan salah satu buku yang ditulis oleh Paul David Tripp: Dangerous Calling (2012). Buku ini berfokus membahas tentang tantangan seorang Hamba Tuhan/Rohaniwan dalam pelayanan pastoral/penggembalaan jemaat. Dalam salah satu bagian buku itu, Paul David Tripp menyatakan bahwa panggilan menjadi Hamba Tuhan adalah sebuah “panggilan yang mulia” (glorious calling), tetapi di sisi lain merupakan sebuah “panggilan yang berbahaya” (dangerous calling).

Saya sangat setuju dengan pernyataannya. Panggilan menjadi Hamba Tuhan memiliki keunikan dan kekhususan tersendiri. Sebagai Hamba Tuhan, fokus saya bukan untuk “mengumpulkan harta”, tetapi membawa dan mengumpulkan umat Tuhan untuk mengenal, mengasihi, dan melayani Allah yang hidup. Saya dipanggil untuk memberitakan Injil Yesus Kristus melalui perkataan dan perbuatan saya, membawa jiwa-jiwa yang terhilang kepada Tuhan Yesus dengan anugerah-Nya. Saya dipanggil untuk melayani dan menggembalakan umat Tuhan dengan berbagai macam tipe karakter dan pergumulan hidupnya. Sebagai hamba Tuhan, seringkali saya “diizinkan dan dipercaya” oleh jemaat untuk masuk ke dalam wilayah-wilayah yang sangat privacy dalam hidup mereka, bahkan mereka bisa memnceritakan “dosa-dosa dan aib mereka sendiri”, dengan harapan sebagai Hamba Tuhan, saya bisa membantu mencarikan jalan keluar dari semua itu. Sebagai Hamba Tuhan, saya diberikan “hak istimewa” untuk berkhotbah dan memberitakan firman Tuhan kepada berbagai macam orang, dari berbagai macam kalangan dan profesi, baik dari kalangan pengusaha, dokter, karyawan, mahasiswa, ibu rumah tangga, dan sebagainya. Oh, betapa mulia dan sekaligus berat panggilan menjadi Hamba Tuhan! Dalam refleksi ini, saya tidak bermaksud mengotak-ngotakkan sebuah panggilan atau profesi, karena semuanya harus dikerjakan untuk kemuliaan Tuhan. Tetapi saya hanya mau fokus pada panggilan dan peran saya sebagai Hamba Tuhan/Rohaniwan dalam tulisan ini.

Namun, disisi lain, panggilan menjadi Hamba Tuhan adalah “panggilan yang berbahaya” (dangerous calling).  Mengapa? Karena ada banyak tantangan dan godaan yang bisa menyeret Hamba Tuhan untuk tidak fokus kepada apa yang berkenan di hati Tuhan. Sebagai Hamba Tuhan, jika tidak mawas diri, saya bisa jatuh ke dalam kondisi “melek” terhadap dosa-dosa dan kelemahan jemaat, tetapi “buta” terhadap dosa-dosa dan kelemahan diri sendiri, Sebagai Hamba Tuhan, saya bisa tergoda untuk memiliki ambisi yang besar untuk mengubah hidup orang lain, tetapi sedikit berpikir dan berusaha untuk mengubah diri saya sendiri. Sebagai Hamba Tuhan, terkadang saya dituntut dan diharapkan “sempurna” di mata jemaat, sebuah ekspektasi yang melelahkan secara emosional, padahal saya juga adalah manusia biasa, manusia berdosa yang rentan dan rapuh, yang juga butuh didukung dan didoakan. Sebagai Hamba Tuhan, saya tidak bisa bebas untuk sharing apa saja, dan “curhat” apa saja kepada jemaat, karena saya harus mempertimbangkan sungguh-sungguh dan sangat hati-hati dalam menyampaikan hal-hal yang sangat sensitif bagi jemaat. Sebagai Hamba Tuhan, tingkat persentuhan atau interaksi dengan jemaat cukup tinggi, dan tentu di dalam setiap interaksi dan relasi, ada potensi gesekan atau salah paham.

Di tengah-tengah, tarikan antara “panggilan mulia” dan “panggilan berbahaya” itu, saya bersyukur kepada Tuhan, anugerah-Nya cukup dalam hidup saya. Saya sudah lulus Sekolah Teologi, saya sudah diwisuda 7 tahun yang silam, tetapi saya belum lulus dalam “sekolah pelayanan” dan “sekolah kehidupan.” Kalimat ini saya tulis, bukan untuk pura-pura rendah hati, tetapi itulah kenyataan sebenarnya. Karena seumur hidup sampai saya dipanggil oleh Tuhan, saya akan terus berproses dan belajar menghadapi ujian-ujian dalam sekolah pelayanan dan sekolah kehidupan ini.

Namun, di hadapan Tuhan yang Maha Tahu, selama 7 tahun melayani, saya tetap terus belajar menjaga kemurnian berita firman yang saya khotbahkan dan saya ajarkan kepada umat. Saya tidak ingin memangkas kebenaran firman Tuhan hanya untuk menyenangkan telinga manusia, tetapi menyakiti hati Tuhan. Saya tidak ingin menggunakan cara-cara yang tidak sesuai Alkitab, hanya untuk memikat dan menarik hati manusia untuk datang ke gereja.

Selama 7 tahun saya melayani, saya juga belajar untuk tidak memanfaatkan “status” saya sebagai Hamba Tuhan, untuk mencari keuntungan pribadi dari jemaat. Ketika jemaat ada yang pergi keluar negeri, biasanya ada beberapa jemaat yang tanya atau WA saya, “Pak Binsar, mau dibawakan oleh-oleh apa? Ada kebutuhan gak, nanti kami bisa belikan!” Mungkin jemaat mengatakan semua ini dalam ketulusan, sebagai salah satu bentuk perhatian dan kasih sayangnya kepada Hamba Tuhan. Tetapi jika jemaat menawarkan hal itu kepada saya, saya tidak ingin meminta ini dan itu, dengan menyebutkan “benda-benda” tertentu yang saya inginkan. Saya tidak pernah berkata, “Ya, saya mau dibelikan ini dan itu…” Tetapi jika jemaat itu datang kepada saya, lalu memberikan “oleh-oleh”, saya akan terima dan sangat berterimakasih, tetapi bukan saya yang minta untuk dibelikan ini dan itu.

Selama 7 tahun melayani, memang ada 2 jemaat yang pernah menawarkan kepada saya, “Pak Binsar, saya mau ke luar negeri, ada buku rohani (bahasa Inggris) yang sedang dibutuhkan gak?” Dalam hal ini, saya memang pernah sebutkan ada buku yang saya inginkan, dan akhirnya dibelikan sebagai “gift” buat saya, tetapi saya tidak pernah menjadikan hal ini sebagai hal yang rutin untuk saya lakukan dalam interaksi dengan jemaat.

Selama 7 tahun melayani, saya tidak pernah dengan sengaja menelpon jemaat pemilik sebuah rumah makan/hotel, lalu  memberitahukan bahwa saya dan istri ingin makan atau nginap disana (keperluan pribadi). Karena jika itu yang kami lakukan, maka kemungkinan besar, kami akan digratiskan atau dikasih diskon besar. Saya dan istri akan langsung datang saja ke sana tanpa pemberitahuan, dan memperlakukan diri kami sendiri sebagaimana konsumen yang lain. Kecuali, misalnya, saya dikasih voucher, atau dalam kasus bukan keperluan pribadi, tetapi untuk keperluan gereja/jemaat bersama, dalam rangka acara tertentu, saya bersedia telpon jemaat pemilik rumah makan/hotel itu.

Bagi saya, Hamba Tuhan tidak selalu harus ditraktir, tetapi juga perlu dalam saat-saat tertentu gantian “mentraktir” jemaat. Memberi dan menerima, melayani dan dilayani adalah bagian wajar hidup manusia. Ada saat kita memberi, ada saat kita juga menerima. Hidup Yesus pun di dunia juga seperti itu.

Saya sungguh mengapresiasi, ada cukup banyak jemaat yang saya layani baik di Jakarta, di Tangerang, dan di Solo sekarang, yang memberikan perhatian dan kasihnya kepada saya sebagai Hamba Tuhan, itu adalah hal yang baik, dan salah satu wujud nyata mempraktikkan ajaran firman Tuhan. Namun, secara pribadi saya tetap belajar menjaga hati dan fokus pelayanan saya.

Mungkin ada orang lain yang berbeda cara berpikirnya dalam hal melihat peran dan sikap Hamba Tuhan seharusnya, boleh-boleh saja, tetapi inilah prinsip dan nilai-nilai hidup dalam pelayanan yang saya sudah terapkan selama 7 tahun melayani.

Tuhan terus mengasihi dan menyertai Hamba-hamba-Nya yang setia kepada-Nya. Tuhan  mengasihi umat tebusan-Nya dan gereja-Nya. Amin.

No comments:

Post a Comment

Hamba Tuhan: Panggilan Mulia dan Berbahaya (Pastor: Glorious and Dangerous Calling)

Tulisan ini merupakan refleksi/perenungan saya selama 7 tahun melayani di gereja sebagai Hamba Tuhan/Rohaniwan. Tidak terasa, sudah 7 t...