“Dan hendaklah kita saling
memperhatikan, supaya kita dapat saling memberi dorongan untuk mengasihi sesama
dan melakukan hal-hal yang baik. Hendaklah
kita tetap berkumpul bersama-sama, dan janganlah lalai seperti orang lain. Kita
justru harus lebih setia saling menguatkan, sebab kita tahu bahwa tidak lama
lagi Tuhan akan datang.” (BIS-Ibrani 10:24-25)
Ada seorang pemuda yang datang menemui seorang kakek. Pemuda itu
menceritakan kekesalan dan kekecewaanya dengan gereja tempat dia berbakti. Dia
mengalami kepahitan, kekecewaan dengan orang-orang yang ada dalam gereja.
Pemuda itu ingin menjadi orang Kristen yang biasa saja, tidak perlu lagi harus
terlibat dalam pelayanan gereja, cukuplah datang beribadah sekali seminggu.
Terlibat pelayanan malah sering menimbulkan banyak gesekan dengan orang lain.
Pemuda itu ingin meminta nasihat kepada sang kakek. Setelah mendengar cerita
dari pemuda itu, sang kakek diam saja, dia tidak memberikan komentar apa-apa.
Kakek itu hanya mengambil sebuah arang yang sedang berada dalam tumpukan bara
api. Arang yang menyala itu dipisahkan sendirian dari tumpukan arang lainnya.
Akhirnya, lama kelamaan, arang yang menyala itu mati sendiri. Kemudian kakek
itu memasukkan kembali arang yang mati itu ke dalam tumpukan arang yang
menyala. Arang yang mati itu menyala kembali. Arang itu hanya bisa terus
menyala jika dia bergabung dengan tumpukan arang lain yang menyala. Melihat
hal itu, pemuda itu pun mengerti apa yang dimaksudkan oleh kakek itu.
Kita akan lemah, kerohanian kita akan makin merosot dan memudar, pada saat
kita menjauhkan diri dari persekutuan dengan saudara-saudara seiman. Tidak ada
seorang pun yang kerohaniannya terlalu kuat sampai-sampai dia tidak membutuhkan
dukungan orang lain untuk bertumbuh.
Di dalam hidup berkomunitas, kita dipanggil untuk saling memperhatikan, saling peduli satu sama lain, saling
berbagi, saling membangun, dan saling menyatakan kebaikan satu dengan yang
lain. Pertumbuhan rohani yang sejati, tidak boleh hanya dipahami secara
personal (individual), seolah-olah itu hanya urusan antara “saya dengan Tuhan”, tetapi pertumbuhan rohani yang sejati juga harus
dipahami secara komunal, yaitu melibatkan tubuh Kristus (komunitas orang percaya). Saudara-saudara seiman yang bersama-sama dengan
kita di dalam sebuah
gereja lokal dengan segala kelebihan
dan kekurangan mereka, dipakai oleh Allah untuk membentuk karakter dan
mendewasakan iman kita.
Gereja bukanlah kumpulan malaikat. Gereja bukanlah kumpulan orang yang
sempurna, yang tidak bisa berbuat dosa lagi. Di dalam gereja, orang berdosa berkumpul
dengan orang berdosa (sekalipun
kita sudah mengalami penebusan
di dalam Kristus), sehingga
pasti ada masalah dan konflik yang timbul. Dalam hidup bergereja, kadang-kadang,
kita dilukai oleh orang lain, tetapi kadang-kadang kita juga melukai orang
lain. Namun, melalui masalah-masalah dan konflik yang ada, justru kita belajar
saling mengasah dan bertumbuh makin dewasa. Masalah-masalah dalam hidup
berkomunitas, jangan dilihat sebagai sebuah ancaman, tetapi harus dilihat
dilihat sebagai sebuah kesempatan bagi kita untuk bertumbuh lebih baik. Itulah sebabnya, masalah-masalah
yang timbul dalam kehidupan berkomunitas harus diselesaikan dengan hikmat dan
tuntunan kebenaran firman Tuhan. Sehat atau tidaknya sebuah komunitas, salah
satunya dilihat dari bagaimana
menangani dan menyelesaikan setiap konflik dan masalah yang terjadi dengan baik
dan sesuai dengan firman Tuhan.
Ada orang Kristen yang bijaksana pernah berkata demikian, “Kita masuk ke dalam sebuah gereja, bukan
karena gereja itu dapat memenuhi seluruh harapan kita, tetapi karena Tuhan
berikan gereja itu kepada kita. Kita masuk dalam persekutuan di tempat ini,
bukan karena kita suka dengan semua orang yang ada di dalamnya, tetapi karena
Tuhan memberikan mereka untuk bersama-sama dengan kita: untuk saling belajar,
untuk saling mengasah, untuk saling bertumbuh bersama, untuk saling berbagi
satu dengan yang lain. Di situlah terjadi pertumbuhan rohani kita.”
Tidak ada komunitas yang ideal. Gereja bukanlah komunitas yang sempurna.
Gereja dibangun dengan segala kekuatan dan kelemahan dari orang-orang yang
terlibat di dalamnya. Melalui kekuatan dan kelemahan itulah, setiap orang dalam
gereja dapat saling membagi hidup, saling melengkapi, dan “memperkaya” satu
sama lain. Sikap mencurigai yang berlebihan, sikap terlalu gampang tersinggung,
sikap pendendam, mau menang sendiri, egois, otoriter, semua itu harus
pelan-pelan kita kikis dalam kehidupan berkomunitas, karena semua itu adalah
penghambat hidup berkomunitas
yang sehat.
John Ortberg menyatakan, “Fondasi
hidup berkomunitas, dan
dasar hidup bergereja, bukanlah kesempurnaan, tetapi kerendahan hati untuk mau
belajar satu sama lain (humility), dan sikap saling mempercayai satu sama lain
(trust). Tanpa kerendahan hati dan sikap saling percaya, kita sulit membangun
komunitas yang sehat.”
Melalui hidup bergereja, kita belajar saling mengampuni, saling melayani,
saling peduli, saling berbagi, belajar memperlakukan orang lain sebagaimana
diri sendiri ingin diperlakukan, dan belajar banyak hal lainnya.
Kita harus mengakui dengan jujur dan rendah hati, sekalipun kita sudah
ditebus oleh Kristus, tetapi masih banyak area buruk dalam diri kita yang masih mendukakan hati Tuhan.
Mungkin kita masih bergumul dengan sifat pemarah, pendendam, iri hati, sombong,
suka menghakimi, suka menjelek-jelekkan orang lain, egois, kasar, dan sebagainya. Namun Allah
menggunakan komunitas untuk mendewasakan karakter kita, dan menyembuhkan “penyakit-penyakit rohani” dalam diri kita. Hidup berkomunitas
membantu kita untuk keluar dari keterpusatan diri kita, dan dari sikap mementingkan diri sendiri.
David W. Gill dalam bukunya Becoming
Good menyatakan, “Gereja adalah
sebuah rumah sakit bagi orang yang sakit, sebuah gymnasium untuk kesehatan
kita, sebuah laboratorium dan sekolah bagi karakter kita”. Hidup berkomunitas memang tidak mudah,
tetapi hal itu sangat baik dan bernilai bagi kesehatan rohani kita.
Praktik sederhana yang bisa kita
lakukan dalam membangun komunitas yang sehat, misalnya adalah selesai Kebaktian Umum, coba
biasakan setiap anggota jemaat membangun relasi dengan anggota jemaat yang
lain. Ajak ngobrol satu atau dua orang. Jangan ngobrol dengan orang atau
kelompok yang sama terus-menerus setiap minggu. Cobalah jalin hubungan yang lebih dalam
dan sehat dengan orang lain di
dalam gereja kita, dan belajar menempatkan diri dalam perasaan dan
pergumulan orang lain. Bagi orang-orang tertentu, mungkin hal ini
bukanlah hal yang mudah, tetapi anugerah Allah selalu cukup memampukan kita
mewujudkan komunitas yang lebih sehat.
Saya ingin mengajak kita untuk merenung dan bertanya pada diri kita
masing-masing, “Apakah kehadiran saya
di gereja ini sudah membangun orang lain? Apakah perkataan,
sikap, dan tindakan saya sudah membangun jemaat yang hidup
bersama-sama dengan saya?” Marilah kita berlomba-lomba untuk menjadi
pemerhati bagi orang lain, dan jangan menunggu untuk diperhatikan. Kiranya Tuhan memberkati komunitas
ini, menjadi komunitas yang menyembuhkan, memulihkan, yang membawa kita
makin mengasihi Allah dan sesama
kita. Amin.
No comments:
Post a Comment