Bahkan, pernah diadakan sebuah pemberkatan nikah terhadap pasangan Kristen pada tanggal 3 Januari 2004 di The Little Wedding Chapel, Las Vegas, USA, tetapi 55 jam setelah acara sakral itu, suami-isteri itu memutuskan untuk bercerai.
Itulah pernikahan dengan usia terpendek di abad ke-21, yang hanya bertahan 55 jam saja. Siapakah pasangan Kristen itu?
Mereka adalah pasangan selebritis: Jason Alexander dan Britney Spears.
Bagi sebagian orang, mungkin perceraian terkadang dianggap sebagai solusi atau jalan keluar yang terbaik, untuk keluar dari kemelut rumah tangga yang seolah-olah menemukan jalan buntu. Namun, sebenarnya hal yang memprihatikankan, bukan hanya fenomena makin meningkatnya angka perceraian, termasuk di Indonesia.
Tetapi juga hal yang perlu kita waspadai adalah ada pasangan yang hidup serumah, satu atap, bahkan mungkin masih satu tempat tidur, tetapi pasangan suami-istri itu hatinya sudah bercerai satu sama lain.
Mereka masih hidup bersama, serumah, tapi menjalani kehidupan pernikahan dengan sikap apatis, kasih yang tawar dan hambar, penuh kebencian dan kecurigaan satu dengan yang lain.
Mereka tidak pernah lagi bisa menikmati keintiman, dan berbicara dari hati ke hati (heart to heart) tentang diri mereka masing-masing, walaupun masih tinggal satu rumah. It is just a house, not a home.
Mereka mungkin belum bercerai secara hukum, tetapi sebenarnya sudah mengalami “perceraian secara emosional.” Mereka mungkin tidak pernah terpikir untuk bercerai secara hukum dengan berbagai macam alasan. Mungkin demi anak, atau demi nama baik mereka, karena malu jika bercerai, apa kata orang, apa kata keluarga besar, apa kata teman-teman gereja/kantor. Jadi, karena alasan-alasan itu, pernikahan tetap dipertahankan, walaupun hidup pernikahan sudah terasa tawar, hambar, dan hampa.
Sebagai seorang yang juga sudah menikah, saya menyadari dan mengakui dengan jujur, menjalani kehidupan pernikahan itu bukanlah hal yang mudah. Saya setuju dengan orang bijak yang berkata, "Hari-hari yang paling sulit dalam pernikahan adalah hari-hari setelah acara pernikahan itu sendiri." Marriage is hard!
Orang berdosa menikah dengan orang berdosa, pasti ada masalah dan konflik yang bisa muncul. Kita bukan menikah dengan seorang “malaikat suci” yang tidak berdosa. Tidak ada pernikahan yang bebas dari konflik.
Namun, dalam pernikahan yang sehat, masalah-masalah dan konflik dalam pernikahan dapat terselesaikan dengan baik, dan kedua pihak bisa berdamai kembali. Sebaliknya, dalam pernikahan yang tidak sehat, konflik tidak terselesaikan dengan baik (atau mungkin “mendiamkan problem”), dan kedua belah pihak sulit sekali untuk berdamai kembali.
Saya setuju dengan pendapat Gary Thomas dalam bukunya “Sacred Marriage” (Pernikahan Kudus) yang menyatakan:
“Pernikahan dirancang oleh Allah bukan sekadar untuk membuat kita bahagia, tetapi yang terutama adalah membuat kita lebih kudus, makin serupa dengan Yesus Kristus dari hari ke hari. Melalui pernikahan, kita belajar meneladani kasih Kristus bagi gereja-Nya."
Martin Luther, tokoh reformator abad ke-16 menyatakan:
“Tujuan akhir pernikahan adalah untuk menaati Allah, untuk mencari pertolongan dan nasihat melawan dosa; untuk berseru kepada Allah; untuk mencari, mengasihi, dan mendidik anak-anak demi kemuliaan Allah; untuk hidup dengan istri dalam takut akan Allah dan memikul salib. Namun, jika tidak ada anak-anak, bagaimanapun, hiduplah dengan istri dalam kepuasan, dan menghindari segala perzinahan dengan orang lain.”
Begitu pentingnya setiap pasangan Kristen terus-menerus diingatkan akan tujuan pernikahan Kristen yang sesungguhnya, itulah sebabnya dalam Liturgi Peneguhan dan Pemberkatan Nikah Gereja Kristen Kalam Kudus Surakarta (17 November 2017), dalam bagian “Dasar-Dasar Pernikahan Kristen” dibacakan kalimat berikut ini:
"Tujuan pernikahan sesungguhnya bukanlah untuk mencari kebahagiaan dan kesenangan diri sendiri, melainkan untuk bertumbuh dalam iman, pengharapan, dan kasih. Karena itu sudah sewajarnya, jika tugas dan tanggung jawab suami-istri ialah saling mengasihi, melayani, menghormati, mendorong, dan membangun seorang akan yang lain, sehingga Tuhan, Sang Pembentuk Keluarga dipermuliakan dalam hidup pernikahan orang percaya."
Lalu apakah salah jika mengharapkan “kebahagiaan” (happiness) dalam pernikahan kita? Tentu tidak salah!
Tidak ada yang salah dengan kebahagiaan itu sendiri. Tetapi kita harus sadar bahwa kebahagiaan adalah hasil atau buah dari kita mengejar apa yang disukai oleh Tuhan. Pengkhotbah 8:12 mengatakan, “Orang yang takut akan Allah akan beroleh kebahagiaan.”
Fokus utama Allah dalam pernikahan kita bukanlah “kebahagiaan” (segala sesuatu berjalan lancar sesuai harapan), tetapi supaya kita bertumbuh dewasa makin serupa Kristus.
Jika kita mempunyai sudut pandang bahwa tujuan akhir pernikahan adalah kebahagiaan dan kesenangan diri kita sendiri; percayalah, kita akan banyak mengalami kekecewaan, karena ternyata realita pernikahan tidak sesuai dengan harapan/ekspektasi kita.
Jadi, pernikahan sebenarnya merupakan salah satu sekolah pendidikan karakter bagi kita.
Ada banyak hal yang harus kita lakukan supaya pernikahan kita menjadi langgeng, bahkan bukan saja langgeng seumur hidup (together forever), tetapi yang paling penting adalah pernikahan kita menjadi pernikahan yang sehat dan yang berkenan di hati Tuhan.
Namun, apa yang sudah kita usahakan dan kita tabur dalam pernikahan kita?
Sayangnya, kadang-kadang kita hanya concern dan bekerja keras untuk pekerjaan/karir kita (itu harus), namun kita kurang peduli dan kurang bekerja keras bagaimana menata kehidupan pernikahan dan keluarga kita supaya berkenan di hati Tuhan.
Saya berharap jika tulisan ini dibaca oleh orang-orang yang belum menikah, atau mungkin sedang merencanakan pernikahan, jangan sampai menjadi “takut” untuk menikah, tetapi justru mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya untuk memasuki pernikahan yang sehat dan berkenan di hati Tuhan.
Saya sungguh rindu, mereka yang ingin menikah, bukan hanya mempersiapkan diri dalam hal finansial, tetapi juga dalam hal mental dan spiritual. Kita membutuhkan hikmat-bijaksana Tuhan dan kedewasaan iman untuk menjalani kehidupan pernikahan dan berkeluarga.
Jika tulisan ini dibaca oleh orang-orang yang sudah menikah, marilah kita concern dengan kesehatan pernikahan kita.
Kita menata kembali kehidupan keluarga kita sesuai dengan kehendak Tuhan. Inilah saatnya kita bersama-sama merenung kembali dan bertanya pada diri sendiri, “Sebenarnya pernikahan ini mau dibawa kemana? Apa sebenarnya fokus Tuhan dalam pernikahan kami?”
Biarlah doa Daud dalam 1 Tawarikh 17:27, menjadi doa kita bersama di hadapan Tuhan,
“Kiranya Engkau sekarang berkenan memberkati keluarga hamba-Mu ini, supaya tetap ada di hadapan-Mu untuk selama-lamanya. Sebab apa yang Engkau berkati, ya Tuhan, diberkati untuk selama-lamanya.” Amin.🙏🏽🙏🏽
No comments:
Post a Comment