ASUMSI YANG KELIRU TENTANG PERTUMBUHAN ROHANI

Ada beberapa asumsi keliru yang cukup sering digunakan untuk “mengukur” pertumbuhan rohani seseorang, salah satu diantaranya adalah asumsi yang beranggapan bahwa meningkatnya pengetahuan seseorang tentang isi Alkitab sama dengan meningkatnya pertumbuhan rohani seseorang. Jika asumsi yang digunakan ini sepenuhnya benar, maka para Ahli Taurat dan Farisi yang hidup di zaman Yesus akan memiliki pertumbuhan rohani yang jauh lebih baik dibandingkan dengan para pengikut Yesus pada zaman itu. Jika asumsi ini benar, maka para rohaniwan atau Sarjana Teologi akan memiliki pertumbuhan rohani yang jauh lebih baik daripada jemaat awam yang tidak pernah mendapatkan pendidikan formal di sekolah teologi. Jika asumsi ini benar, maka pertumbuhan rohani yang baik, hanya dimiliki secara eksklusif oleh orang-orang yang mempunyai pengetahuan dan keahlian khusus dalam mempelajari dan menafsirkan Alkitab. Namun, dalam kenyataannya, benarkah demikian? Jelas tidak!
Kritikan dan teguran yang paling keras yang diberikan oleh Yesus yang dicatat dalam Injil, justru bukan kepada para pemungut cukai, penzinah, atau “para pendosa” yang dianggap sangat hina dan sampah masyarakat pada masa itu, tetapi justru kepada para Ahli Taurat dan Farisi yang paling sering menyebut nama Tuhan, tetapi hatinya jauh dari Tuhan (Matius 23:1-36). Mereka adalah orang-orang yang merasa dirinya paling dekat dengan Tuhan, tetapi hidup mereka sebenarnya tidak berkenan di hadapan Tuhan. Mereka merasa dirinya sudah diselamatkan, tetapi sebenarnya hati mereka tidak pernah mengalami anugerah Allah yang menyelamatkan dan mengubahkan itu.
John Ortberg dalam bukunya “The Life You’ve Always Wanted” (Kehidupan yang Selalu Anda Dambakan) menyatakan, “Pikirkan siapa saja yang Anda kenal, yang pengetahuan Alkitabnya katakanlah sepuluh kali lebih banyak daripada orang-orang yang jarang ke gereja. Lalu tanyakan pada diri Anda sendiri, apakah orang ini sepuluh kali lebih mengasihi, sepuluh kali lebih sabar, dan sepuluh kali lebih bersukacita daripada orang yang jarang ke gereja.”
Selama 4 tahun saya kuliah di Sekolah Teologi, salah satu pengalaman berharga yang saya dapatkan adalah ternyata menyukai isi Alkitab tidak sama dengan mengasihi Allah, mempelajari isi Alkitab tidak sama dengan mendengarkan Allah, karena kita bisa terjebak menjadi para Ahli Taurat dan Farisi-Farisi modern, yang setiap hari membaca dan menyentuh Kitab Suci, tetapi tidak mau mengasihi dan mendengarkan Allah.
Jangan salah paham, saya tidak mengatakan bahwa pengetahuan Alkitab yang baik tidak diperlukan untuk pertumbuhan rohani. Minimnya pengetahuan isi Alkitab yang dimiliki oleh seseorang bisa menjadi salah satu tanda atau indikator rendahnya ketertarikan seseorang untuk lebih mengenal Allah dan firman-Nya. Namun, point yang ingin saya tekankan adalah hanya sekadar memiliki pengetahuan Alkitab saja, tidak cukup untuk membawa seseorang kepada perubahan hidup dan pertumbuhan rohani.
Sebenarnya kesalahan bukan terletak pada pengetahuan Alkitabnya, tetapi pada motivasi dan sikap hati yang salah terhadap firman Allah, diantaranya adalah:
1. Seperti yang dikatakan oleh Dr. Simon Chan dalam bukunya “Spiritual Theology” bahwa “Sistem pendidikan kita cenderung melatih kita membaca semata-mata untuk mendapatkan informasi dan keterampilan saja.”
Seringkali sikap hati kita dalam membaca Alkitab hanya untuk mendapatkan informasi, bukan untuk transformasi (pembaharuan hidup dan hati yang diubahkan). Motivasi kita membaca Alkitab haruslah selalu kasih dan ketaatan kepada Tuhan.
Kita mungkin bisa setiap hari baca Alkitab, tetapi tetap mengabaikan area-area buruk dalam hidup kita, dimana Allah sebenarnya mau menyentuh dan mengubah are-area itu. Kita bisa tetap menganggap enteng dan remeh dosa-dosa, misalnya: iri hati, sulit mengakui kelemahan diri sendiri dan kelebihan orang lain, cinta uang, kebencian, gampang tersinggung, pemarah, keangkuhan rohani, merasa diri sudah banyak tahu dan  pengalaman, suka menilai tetapi sedikit belajar, lebih suka mengoreksi orang daripada dikoreksi orang lain, hanya suka khotbah yang menghibur dan tidak suka khotbah yang mengoreksi, cepat berkata-kata tetapi lambat untuk mendengar, suka merasionalisasi kesalahan diri sendiri, suka berprasangka buruk terhadap orang lain, suka “menyerang” orang lain, cenderung hanya menjadi “penyenang orang” (people-pleasers) daripada “penyenang Allah” (God-pleasers), dan seterusnya.
Kita juga perlu waspada dengan area “titik-titik buta” (blind spots) dalam hidup kita, yaitu kelemahan/keburukan dalam diri kita dimana orang lain tahu, tapi celakanya kita sendiri “tidak tahu” hal itu. Area-area tertentu dimana kita buta terhadap diri kita sendiri. Kita harus terus-menerus menyadari bahwa fokus Allah dalam hidup kita adalah keserupaan dengan karakter Kristus melalui pertolongan Roh Kudus dan firman Allah yang membersihkan hati kita dari yang jahat.
2. Kita mungkin jarang berdoa dengan sungguh-sungguh dan terus-menerus meminta satu hal ini, yaitu supaya Tuhan memberikan kepada kita hati yang haus akan Allah dan firman-Nya. Mungkin doa kita selama ini terlalu berpusat pada keegoisan diri sendiri, terlalu banyak berbicara kepada Allah, tetapi kurang peka untuk meneduhkan hati dan hening di hadirat-Nya mendengarkan Allah berbicara dalam hidup kita. Kita mungkin tidak pernah menangisi kondisi kerohanian diri kita sendiri di hadapan Allah, kondisi kerohanian kita yang begitu dangkal kerinduan akan Allah dan firman-Nya. Kita merasa kerohanian kita “baik-baik” saja.

Mari kita menghampiri Alkitab bukan dengan sikap seperti seorang “ahli Alkitab” (sekalipun metode menafsir tentu penting), tetapi dengan sikap seorang murid, yang datang dengan keterbukaan kepada Allah, sikap mendengar dengan rendah hati, membaca dengan hati yang bertobat, dan kesediaan untuk tunduk dan taat kepada firman-Nya. Orang-orang yang mempunyai sikap hati seorang murid seperti inilah yang disebut Yesus sebagai, “Yang berbahagia ialah mereka yang mendengarkan firman Allah dan yang memeliharanya” (Lukas 11:28). Amin.

No comments:

Post a Comment

Hamba Tuhan: Panggilan Mulia dan Berbahaya (Pastor: Glorious and Dangerous Calling)

Tulisan ini merupakan refleksi/perenungan saya selama 7 tahun melayani di gereja sebagai Hamba Tuhan/Rohaniwan. Tidak terasa, sudah 7 t...