Tulisan ini merupakan ringkasan renungan singkat yang
disampaikan tanggal 26 Juni 2018, dalam acara Fellowship Panitia dan Pelayanan
Ibadah Persiapan HUT ke-61 Gereja Kristen Kalam Kudus Surakarta.
Setelah beberapa waktu lamanya, maka Kain mempersembahkan
sebagian dari hasil tanah itu kepada TUHAN sebagai korban persembahan;
Habel juga mempersembahkan korban persembahan dari anak
sulung kambing dombanya, yakni lemak-lemaknya; maka TUHAN mengindahkan Habel dan korban persembahannya itu,
tetapi Kain dan korban persembahannya
tidak diindahkan-Nya. Lalu hati Kain menjadi sangat panas, dan mukanya muram. (Kejadian 4:3-5)
Kisah Kain dan Habel dalam Kejadian 4 ini
mengajarkan salah satu prinsip penting, yaitu tidak semua ibadah dan persembahan
yang kita lakukan “atas nama Tuhan”,
pasti diterima dan disukai oleh Tuhan.
Hanya ibadah dan persembahan yang dilakukan sesuai dengan cara dan
keinginan Tuhan, itulah yang berkenan di hati-Nya.
Berdasarkan prinsip ini, kita juga harus
menyadari tidak semua aktivitas pelayanan yang kita lakukan “atas nama Tuhan”,
pasti diterima dan disukai oleh Tuhan. Hanya pelayanan yang dilakukan sesuai
dengan cara dan keinginan Tuhan, itulah yang berkenan di hati-Nya.
Dalam Kejadian 4:4 bukan tertulis kalimat seperti
ini, “Tuhan mengindahkan korban persembahan Habel.” Tidak demikian! Tetapi
tertulis, “Tuhan mengindahkan Habel dan korban persembahannya.”
Jadi, yang
diterima dan berkenan di hati Tuhan bukan hanya “persembahan” Habel saja (apa
yang dia persembahkan), tetapi juga “diri Habel” sendiri sebagai pribadi/orang
yang membawa persembahan itu.
Demikian juga, dalam Kejadian 4:5 bukan tertulis,
“Korban persembahan Kain tidak diindahkan-Nya.” Tetapi Alkitab menuliskan, “Kain dan korban persembahannya
tidak diindahkan-Nya.”
Jadi,
yang tidak berkenan di hati Tuhan bukan hanya “persembahan” Kain saja, tetapi
juga “diri Kain” sendiri.
Seorang
ahli Perjanjian Lama, Daniel Block, D.Phil., menyatakan bahwa “nama orang”
(Kain, Habel) yang membawa persembahan, ditempatkan di depan kata “persembahan”
(offering) ingin menekankan bahwa
Allah lebih memperhatikan “diri orang yang membawa persembahan” atau
“penyembah” (worshiper), daripada
“persembahan” (offering) itu sendiri.
Jikalau teks Alkitab di atas saya modifikasi dan
saya aplikasikan dalam kehidupan pelayanan gereja pada masa kini, maka saya
akan menuliskan kembali teks itu demikian:
“Tuhan
mengindahkan Habel dan aktivitas pelayanannya, tetapi Kain dan aktivitas
pelayanannya tidak diindahkan-Nya.”
Jadi,
Tuhan bukan hanya sekadar melihat aktivitas pelayanan yang kita lakukan
(menjadi Worship Leader, Singer, pemusik, usher, anggota Paduan Suara, panitia,
dll), tetapi juga terutama melihat siapa diri kita dan bagaimana sikap hati
kita, ketika kita melakukan semua aktivitas pelayanan itu.
Salah
satu godaan dalam pelayanan gereja adalah kita hanya fokus pada “penampilan dan
performance” diri kita secara
lahiriah, tanpa memperhatikan sikap batiniah dan kerohanian kita di hadapan
Tuhan. Ketika penampilan dan performance
kita baik, bahkan mungkin dipuji oleh banyak orang, kita merasa pelayanan kita
sudah okay dan berhasil, tetapi kita lupa bahwa penilai utama pelayanan kita
adalah Tuhan sendiri. Kita sebenarnya melayani untuk siapa dan dengan tujuan
apa? Apakah untuk membesarkan diri sendiri, atau untuk membesarkan dan
memuliakan Tuhan melalui pelayanan kita?
Jangan
salah paham. Saya tidak mengatakan penampilan dan performance tidak penting dalam kegiatan pelayanan. Penampilan dan
performance yang terbaik harus kita berikan untuk Tuhan kita, Raja di atas
segala raja. Namun, yang dilihat dan dinilai Tuhan, bukan sekadar kualitas
penampilan dan performance kita,
tetapi lebih dari itu adalah diri kita sendiri, kualitas sikap batiniah kita di
hadapan Tuhan.
Jangan
sampai sambil melayani, kita sebenarnya sambil berdosa di mata Tuhan. Dalam
arti, diri kita dan aktivitas pelayanan kita justru tidak berkenan di hati
Tuhan.
Itulah
sebabnya, kita perlu terus-menerus mawas diri, menguji hati dan motivasi kita
di hadapan Tuhan, memelihara kecintaan kita kepada Tuhan, mengevaluasi
kehidupan kerohanian kita, bertanggung jawab dan mendisiplin diri dalam
pelayanan, melakukan pelayanan bukan asal-asalan, atau ala kadarnya, atau
dengan sikap setengah hati, tetapi dengan melayani segenap hati, segenap jiwa,
dan segenap kekuatan, kita berusaha mempersembahkan yang terbaik kepada Tuhan
(do the best), supaya diri kita dan aktivitas pelayanan kita boleh berkenan di
hadapan Tuhan.
Satu
hal ini jangan pernah hilang dalam diri: MAWAS DIRI DALAM PELAYANAN!
Tuhan
menolong kita, kiranya diri dan aktivitas pelayanan kita berkenan di hati
Tuhan.
No comments:
Post a Comment